Sabtu, 17 Desember 2011

SEMANTIK


Sejarah Semantik


Para pemikir/filusuf Yunani sejak dulu telah mengkaji dan mendiskusikan isu-isu yang dapat dikatagorikan sebagai “embrio” semantik. Studi semantik pada saat itu dapat dijadikan sebagai barometer kemajuan berpikir seseorang (Umar, 1982). Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata, yang menurutnya adalah satuan terkecil yang mengandung makna (Aminuddin, 2003).

Dalam kaitannya dengan “makna”, Aristoteles membedakan antara bunyi dan makna, Disebutkan, bahwa makna itu sesuai dengan konsep yang ada pada pikiran. Dia membedakan antara sesuatu yang ada di dunia luar (al-asyya’ fil ‘alam al-khariji), konsep/makna (at-tashawwurat/al-ma’ani), dan bunyi/lambang atau kata (ar-rumuz/al-kalimat) (Umar, 1982). Bahkan Plato (429—347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas (Aminuddin, 2003).

Semantik sebagai subdisiplin linguistik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar klasik berkebangsaan Jerman bernama C. Chr.Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa (grammar). Dia membagi tatabahasa menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).

Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan dengan istilah semantik (Pateda, 2001). Istilah semantik itu sendiri pada saat itu masih belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. (Aminuddin, 2003). Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase (Pateda, 2001). Fase pertama meliputi masa setengah abad, termasuk di dalamnya kegiatan Reisig. Fase ini biasa disebut the underground period of semantics.

Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun 1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, seorang berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du langage”. Pada masa itu, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 ini adalah Essai de Semantique Science des Significations (1897), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Semantics: Studi in the Science of Meaning (Pateda 2001 dan Aminuddin, 2003).

Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language (1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern (Pateda, 2001 dan Aminuddin, 2003). Stern dalam kajiannya sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris (Aminuddin, 2003). Sebelumnya, yakni pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak linguistik modern telah menulis buku berjudul Cours de Linguistique Generale (pada tahun 1959, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Course in General Linguistics). Dia berpendapat, bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu (Chaer, 2002). Dengan demikian, studi bahasa yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sementara itu, studi tentang sejarah dan dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis (Aminuddin, 2003).

Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi pada studi semantik yang dicirikan oleh (i) pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan karena pendekatannya sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan; (ii) perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata; (iii) semantik dipengaruhi oleh stilistika; (iv) studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi; (v) dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran; (vi) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Menurut de Saussure yang nama lengkapnya Mongin Ferdinan de Seassure (kelahiran Jenewa pada tahun 1857), suatu bahasa terdiri atas satu perangkat tanda atau ‘signs’ yang merupakan kesatuan dari signifiant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti). Masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan atau artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (Sampson, 1980). Istilah semantik pun bermacam-macam, antara lain, signifik, semasiologi, semiologi, semiotic, sememmik, dan semik. Palmer (1976), Leech (1974), dan Lyons (1977) menggunakan istilah semantik (Djajasudarma, 1, 1993).

Pengertian Semantik

Written By M. Asrori Ardiansyah on Sunday, March 27, 2011 | 7:44 AM

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd


Pengertian Semantik
Untuk mengetahui apa pengertian semantik, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh A.
(1) Perempuan itu ibu saya.
(2) Perempuan itu bekerja di rumah sakit.
(3) Perempuan itu dalam kampanyenya kemarin menyampaikan visi dan misi partainya.
(4) Ih, dasar perempuan.

Contoh B.

المرأة التي تقدم لنا الوجبات في الفندق بشوشة.
هي مرأة تعمل في الإدارة الحكومية.
المرأة التي تسري كل يوم في وسط المدينة قبضها البوليس.
وامرأته حمالة الحطب سورة اللهب.

Pada contoh A (1) sampai dengan A (4) dijumpai kata perempuan. Dilihat dari aspek leksikalnya, kata perempuan baik pada A (1) sampai dengan A (4) tersebut mengacu pada seseorang yang berjenis kelamin sama (tidak ada perbedaan). Akan tetapi, apabila dicermati berdasarkan konteks kalimatnya, kata perempuan pada contoh A tersebut memiliki perbedaan dan perbedaan ini disebut dengan perbedaan semantik.

Kata perempuan pada contoh A (1) mengacu pada seseorang (perempuan) halus budi-bahasanya, keibuan (Djajasudarma, 1999), penuh kasih sayang, dan sabar. Kata perempuan pada contoh A (2) mengacu pada seseorang (perempuan) yang berprofesi sebagai tenaga medis atau dokter di rumah sakit. Kata perempuan pada contoh A (3) mengacu pada seorang politisi dan atau juru kampanye untuk partai tertentu. Sementara itu, kata perempuan pada contoh A (4) mengacu pada seorang perempuan yang tamak, rakus, tidak sesuai dengan kodrat perempuan (Djajasudarma, 1999).

Hal yang sama juga dapat ditemukan pada contoh B (1) sampai (5). Secara leksikal Kata مرأة baik pada contoh B (1) sampai (5) memiliki makna yang sama. Akan tetapi, ketika kata tersebut dikaitkan dengan konteks kalimatnya, maka makna yang dihasilkan berbeda. Kata مرأة pada B (1) berarti ibu guru, Kata مرأة pada B (2) berarti palayan di hotel, Kata مرأة pada B (3) berarti pegawai negeri, Kata مرأة pada B (4) dapat dimaknai sebagai PSK.

Sementara itu, kata إمرأةpada B (5) mengacu pada istri Abu Lahab yang digelari “Ummu Jamil”. Wanita ini sangat memusuhi Nabi Muhammad. sebagaimana sikap suaminya terhadap Nabi. Dalam ayat tersebut dia juga diberi sebutan hammalatal hathab (pembawa kayu bakar). Ada yang memahami gelar ini secara harfiah mengaitkan dengan perilaku buruk Ummu Jamil yang membawa kayu-kayu berduri untuk ditabur di jalan-jalan yang dilalui Nabi Muhamamd. Ada juga yang memahaminya secara majazy, yakni pembawa berita bohong yang memecah belah antara sesama manusia, atau dalam arti orang yang memikul dosa-dosa yang di hari kemudian akan menjadi kayu bakar di api neraka (Shihab, 1997). Dengan demikian, kata yang sama (perempuan/مرأة) secara semantik dapat memiliki makna yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disarikan, bahwa semantik adalah istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa او العلم الذي يدرس المعنى (Umar, 1982 dan Chaer, 2002). Secara etimologis, kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) dan (Arab: ‘ilmu ad-dilalah) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semanio yang berarti “menandai” atau “melambangkan” (Umar, 1982 dan Chaer, 2002).

Pendapat yang sama mengenai batasan semantik juga dikemukakan oleh Wijana (1999), bahwa semantik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual. Satuan lingual di samping memiliki bentuk juga memungkinkan memiliki makna. Dua aspek ini tidak dapat diabaikan di dalam setiap pemerian bahasa. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa makna itu sendiri dapat didefinisikan sebagai konsepsi atau persepsi yang menghubungkan satuan lingual itu dengan kenyataan di luar bahasa yang disebut referen kendatipun makna tidak selalu identik dengan referen. Konsepsi atau persepsi disebut dengan denotata (bentuk jamak dari denotatum). Makna merupakan unsur dalam bahasa, sedangkan referen merupakana unsur luar bahasa. Bentuk berhubungan secara langsung dengan makna satuan lingual dan berhubungan secara tidak langsung dengan referennya sebagaimana tergambar dalam diagram 01 yang dikutip dari Ogden dan Richards (1923).













Konsep atau makna ada pada pikiran manusia, simbol atau bentuk adalah lambang bahasa yang merupakan unsur (struktur) linguistik, dan referen “acuan’ adalah objek atau hal (peristiwa, fakta, di dalam dunia pengalaman manusia). Konsep adalah apa yang ada dalam pikiran manusia yang diwujudkan melalui lambang (simbol) bahasa.
(Djajasudarma, 1999).

Objek Kajian Semantik

Written By M. Asrori Ardiansyah on Sunday, March 27, 2011 | 8:24 AM

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd


Pada uraian sebelumnya dikemukakan, bahwa semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji makna atau arti dalam bahasa dan secara etiomologis berarti “menandai” atau “melambangkan”.
Pertanyaan yang mengemuka adalah lambang apakah yang menjadi objek kajian semantik? Dapatkah rambu-rambu lalu lintas yang juga merupakan lambang bermakna (simbol bermakna) termasuk wilayah kajian semantik atau dapatkah gambar berikut ini yang juga merupakan lambang atau simbol bermakna juga menjadi objek kajian linguistik.















Keempat gambar di atas merupakan simbol/lambang yang memiliki makna. Gambar 1 adalah gambar timbangan yang antara bandul satu dengan yang lain simetris (seimbang). Gambar 1 tersebut dapat dijumpai di lembaga peradilan dan merupakan suatu simbol yang memiliki makna. Makna yang dimaksud oleh gambar tersebut adalah kewajiban lembaga peradilan untuk menegakkan keadilan tanpa ada diskriminasi. Menuru gambar 1 tersebut, setiap anak bangsa mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Pemberlakuan hukum harus seimbang (adil) atau tidak boleh berat sebelah sebagaimana yang dilambangkan oleh kesimetrisan kedua bandul pada timbangan tersebut. Dengan demikian, gambar 1 di atas merupakan suatu lambang atau simbol yang bermakna keadilan.


Gambar 2 adalah gambar ka’bah. Ia merupakan lambang spiritual keagamaan umat Islam. Ke arah ka’bahlah umat Islam harus menghadap pada saat melaksanakan shalat. Di samping sebagai kiblat umat Islam, Ka’bah juga melambangkan identitas keagamaan seseorang. Apabila di rumah seseorang dijumpai gambar ka’bah, maka dapat diasumsikan, bahwa pemilik rumah tersebut bergama Islam. Gambar 3 di atas juga merupakan suatu lambang spiritual sebagaimana ka’bah. Perbedaannya adalah bahwa gambar 3 ini berkaitan dengan tempat peribadatan kaum Nasrani.

Sementara itu, gambar 4 merupakan lambang “cinta”. Apabila seorang pemuda/remaja memberikan lambang ini kepada seorang “cewek”, maka makna yang dapat ditangkap adalah bahwa si pemuda/remaja tersebut mengungkapkan rasa cintanya melalui bahasa gambar 4. Dengan demikian, pengungkapan rasa cinta kepada orang lain (lawan jenis), tidak harus dengan simbol-simbol kebahasaan, tetapi dapat dilakukan dengan memberikan simbol berupa gambar.


Memang semantik mengkaji makna dari suatu lambang atau simbol, tetapi lambang atau simbol yang menjadi kajian semantik hanyalah lambang bahasa atau simbol-simbol yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (Umar, 1982 dan Chaer, 2002). Objek semantik adalah telaah tentang makna—yang mencakup lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lainnya serta pengaruh makna terhadap manusia dan masyarakat pemakai bahasa, Mempelajari seluk beluk makna juga berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa saling mengerti (Nikelas, 1988).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Djajasudarma (1999), bahwa objek semantik adalah makna, dan makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Sementara itu, ilmu yang mengkaji tentang simbol-simbol yang lebih luas (kebahasaan dan non-kebahasaan) disebut dengan semiotika atau ‘ilmu ar-rumuz (Umar, 1982).

Dengan demikian, tanda atau lambag sebagaimana pada gambar 1 s.d. gambar 4 tidak menjadi objek kajian semantik, meskipun gambar tersebut memiliki makna. Demikian pula rambu-rambu lalu lintas di jalan raya yang memiliki makna juga bukan merupakan objek kajian semantik.

Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis

Written By M. Asrori Ardiansyah on Sunday, March 27, 2011 | 8:38 AM

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd


Dalam kajian linguistik, kita mengenal apa yang disebut dengan fonologi (ilmu al-ashwat), morfologi (ash-sharf), dan sintaksis (an-nahwu). Fonologi merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bertugas mempelajari fungsi bunyi untuk membedakan dan mengidentifikasi kata-kata tertentu (Al-Wasilah, 1985). Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari pembentukan kata (Yule, 1985). Sementara itu, sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda bahasa (Levinson, 1992), yakni hubungan antara kata/frasa yang satu dengan lainnya dalam suatu kalimat.

Semantik sebagai cabang ilmu bahasa memiliki hubungan yang erat dengan ketiga cabang ilmu bahasa di atas (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Ini berarti, bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh unsur bunyi (tekanan suara dan atau nada suara atau yang lebih umum adalah suprasegmental), bentukan kata (perubahan bentuk kata), maupun susunan kata dalam kalimat. Dengan demikian, tidak mungkin semantik dipisahkan dari cabang linguistik lainnya atau sebaliknya (Umar, 1982).
Perhatikan contoh berikut ini.

Contoh A. 1
(1) انت تكنس البلاط.
(2) انت تكنس البلاط؟

Apabila kalimat (1) dan (2) pada A.1 tersebut diungkapkan secara lisan dengan nada yang sama (nada datar), maka keduanya memiliki makna yang sama. Akan tetapi, apabila diungkapkan dengan nada yang berbeda, maka kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Kalimat (1) bernada informatif (memberi informasi), sedangkan kalimat (2) bernada introgatif (bertanya). Secara semantik, keduanya memiliki makna yang berbeda karena perbedaan nada.

Dengan demikian, bunyi suatu ujaran (nada) mempengaruhi makna. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila Umar (1982) menyatakan bahwa tanghim (nada suara) dan nabr (tekanan suara) termasuk kalimat (jumlah).

Contoh A.2
(1) غفر الله ذنوبنا
(2) استغفرنا الله
(3) جلس علي على الكرسي
(4) أجلس علي الطفل على الكرسي

Kata yang digarisbawahi pada kalimat (1) dan pada kalimat (2) berasal dari akar kata yang sama, yaitu غ - ف - ر . Akan tetapi, setelah mengalami proses morfologis, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata pada kalimat (1) berarti mengampuni (Tuhan mengampuni dosa-dosa kita), sementara itu kata pada kalimat (2) berarti ‘meminta ampun’ (lith- thalab). Dengan demikian huruf tambahan (afiksasi) berupa ا- س - تpada awal kata mempunyai arti, sehingga kalimat (2) di atas berarti Kami (telah) meminta ampun kepada Allah.

Hal yang sama juga terjadi pada kata yang digarisbawahi dalam kalimat (3) dan (4). Keduanya berasal dari akar kata yang sama (ج-ل-س).

Akan tetapi, karena mengalami proses morfologis, maka kedua kata tersebut memiliki makna yang berda. Kata yang digarisbawahi pada kalimat (3) merupakan verba intransitif (fi’l lazim), sementara itu, pada kalimat (4) disebut verba transitif (fi’l mutta’addi). Dengan demikian, kalimat (3) berarti ‘Ali duduk di atas kursi’, sedangkan kalimat (4) berarti ‘Ali mendudukkan anak kecil di atas kursi. Dari contoh A2 (1), (2), (3) dan (4) di atas dapat disimpulkan, bahwa makna dipengaruhi oleh hasil proses morfologis.

Contoh A3
(1) الثعلب السريع البني كاد يقتنص الأرنب.
(2) الثعلب البني الذي كاد يقتنص الأرنب كان سريعا.
(3) الثعلب السريع الذي كاد يقتنص الأرنب كان بنيا.

Kalimat (1), (2), dan (3) pada contoh A3 di atas pada dasarnya memiliki pesan yang sama. Substansi yang dibicarakan berkisar tentang serigala yang hampir menangkap kelinci. Akan tetapi, karena kata-kata tertentu urutannya tidak sama, maka pengutamaan pesan yang dikandung oleh ketiganya berbeda (Umar, 1982). Pesan kalimat (1) pada contoh A3 lebih menekankan pada serigala yang cepat dan berwarna coklat (kecepatan berlari dan warna serigala), pesan kalimat (2) pada contoh A3 lebih menekankan identitas warna serigala (coklat), sedangkan pesan kalimat (3) lebih menekankan pada kecepatan lari serigala.
Sebagai pembanding dari contoh A.3, perhatikan contoh A.4 berikut ini.
Contoh A 4.

1. Orang tua itu putus asa dan bunuh diri.
2. Pemudah itu bekerja keras dan berhasil.
3. Orang tua itu bunuh diri karena dia putus asa.
4. Pemuda itu berhasil karena bekerja keras.

Kalimat (1) (3) dan (2) (4) pada contoh A4 pada dasarnya mempunyai pesan yang kurang lebih sama, yaitu hubungan sebab akibat (dua kluasa). Perbedaannya pada pengutamaan pesan yang dikandung oleh setiap klausa. Pesan yang ditekankan pada (1) adalah keputusasaan orang tua (klausa pertama sebagai klausa primer) yang merupakan sebab, sementara itu klausa “bunuh diri” sebagai klausa kedua (skunder) merupakan akibat. Dengan demikian, pesan yang ditekankan adalah sebab, bukan akibat. Sebaliknya, pesan yang ditekankan pada kalimat (3) adalah akibat, yakni bunuh diri, sedangkan klausa sebab merupakan klausa skunder. Hal yang sama juga terjadi pada kalimat (2) dan (4). Dengan demikian, urutan kata dalam suatu struktur kalimat mempengaruhi makna.

Semantik sebagai studi makna bukan saja berkaitan dengan cabang linguistik lainnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis), tetapi juga berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Disiplin ilmu yang dimaksud misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, dan filsafat. Antropologi berkepentingan di bidang semantik, antara lain karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. Psikologi berhubungan erat dengan semantik, karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal atau nonverbal. Sementara itu, filsafat berhubungan erat dengan semantik karena persoalan makna tertentu dapat dijelaskan secara filosofis, misalnya makna ungkapan dan peribahasa (Djajasudarma, 1999).

Hubungan antara semantik dengan studi lainnya dapat ditampilkan pada diagram 01.














Diagram 01 Hubungan Semantik dengan Studi Lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar