Setiap pembaca yang berhadapan dengan teks pasti bertarung dengan proses pemaknaan. Ia di dalam kubangan untuk menentukan bagaimanakah signifikansi teks yang ia baca. Tanpa dia sadari, kode dan signifikansi yang ada di dalam teks tersebut diperoleh dari teks-teks yang pernah ia baca sebelumnya. Dus dengan demikian tanpa ia sadari pula bahwa sebenarnya tidak ada satupun teks yang benar-benar mandiri. Setiap teks yang ada selalu terkait dengan teks-teks lain untuk mendapatkan signifikansi.
Keadaan ini telah disinggung oleh Julia Kristeva (dalam Culler, 1981: 104) bahwa jumlahan pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau intertekstualitas, merupakan hal yang tak bisa dihindari sebab setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Hal senada disampaikan oleh Laurent Jenny (dalam Culler, 1981: 104) sebagai “outside of intertextuality, the literary work would be quite simply impertceptible, in the same way as an utterance in an as yet unknown language”. Ini artinya bahwa ketika suatu teks benar-benar tidak bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak bersignifikansi. Namun masalahnya, sebagaimana dituturkan oleh Jenny (dalam Culler, 1981: 104), istilah intertekstualitas sendiri juga sulit dimarkai secara tepat sebab “… at what point can one start to speak the presence of one text in another as an instance of intertextuality?“.
Culler menekankan intertekstualitas sebagai dua hal fokus kajian (Culler, 1981: 103). Fokus pertama adalah penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu) yang demikian juga berarti istilah ‘otonomi sebuah teks’ adalah istilah yang tidak tepat sebab sebuah teks baru memiliki makna ketika ada teks-teks yang lebih dulu mendahuluinya, jadi tidak ada otonomi. Sedangkan fokus kedua adalah mengenai intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu terhadap berbagai macam efek signifikansi.
Proses pembacaan dan pemaknaan kemudian dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat kompleks. Teks sendiri merupakan sekumpulan kode-kode yang nilai signifikansinya ditentukan oleh teks-teks pendahulunya sedangkan pembaca teks juga tidak bergulat dengan teks dalam keadaan bersih. Setiap pembaca sendiri dikatakan oleh Barthes sebagai sebuah entitas yang terbentuk dari pluralitas teks-teks lain; “I is not an innocent subject that is anterior to texts … The I that approaches the text is itself already a plurality of other texts” (dalam Culler, 1981: 102).
Menurut Barthes, proses pembacaan menjadi sebuah proses signifikasi yang susah diprediksi hasilnya. Oleh sebab itulah ia mendefinisikan sastra sebagai “a messsage of the signification of things and not their meaning (by ‘signification’ I refer to the process which produces the meaning and not this meaning itself)” (dalam Selden dkk., 1997: 155-156). Ini kemudian berarti bahwa pembacaan tidak bisa lepas dari fakta bahwa sebuah teks selalu “menjadi tempat (persimpangan jalan) di mana bahasa, yang merupakan gudang kutipan, ulangan gema, dan rujukan yang tak terbatas, saling bersimpangan” sebagaimana dapat dirujukkan di dalam salah satu esai pendeknya yang berjudul “The Death of the Author” (Selden, 1991: 77). Keadaan seperti ini membuat hasil segala pembacaan, pemaknaan, tidak akan pernah bisa imun terhadap pertanyaan yang mungkin timbul dari pembacaan berikutnya. Semua wacana, semua interpretasi kritis, adalah sama-sama fiktif dan tidak bisa disebut jauh dari Kebenaran (Selden, 1991: 77 dan Selden dkk., 1997: 156).
Pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas dapat dijabarkan sebagai berikut (adapatasi dari Junus, 1985: 87-88):
1. kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain,
2. selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
3. adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
4. pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Dari apa yang yang telah dijabarkan di atas, maka model pembacaan seperti apakah yang dapat kita lakukan di dalam konteks intertekstualitas sebuah karya? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dirujukkan kepada apa yang disinggung oleh Hitchon dan Jura (1997: 156) yang melihat adanya intertekstualitas di dalam film Kill Bill: Vol. 1. Tokoh utama di dalam film tersebut, The Bride, memakai pakaian berwarna kuning serupa pakaian Bruce Lee di dalam film Game of Death. Di dalam Game of Death, Bruce Lee berperan sebagai Billy Lo, seorang jagoan kungfu yang tak terkalahkan. Contoh lainnya adalah pada karya Jonathan Gray (2006) yang berjudul Watching with The Simpsons. Di dalam bukunya, Gray menekankan arti penting intertekstualitas dengan genre. Ia melihat bahwa The Simpsons yang berbentuk genre parodi merujukkan kepada dua hal yang terkait dengan intertekstualitas. Hal yang pertama adalah penciptaan situasi yang absurd karena ditampilkan secara komikal sehingga cerminan terhadap dunia menjadi aneh. Hal yang kedua adalah dalam konteks critical intertextuality; suatu keadaan di mana referen-referen intertekstualitas digunakan justru untuk mengkritik keadaan masyarakat. Sedangkan contoh yang diberikan oleh Teeuw (1983: 66-72) mengenai telaah intertekstualitas sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah, hal yang kemudian agak lebih rapi dan menjurus ke intertekstualitas dilakukan oleh Ratih (dalam Jabrohim ed., 1994: 175-188) di dalam analisisnya terhadap beberapa sajak Indonesia. Teeuw dan Ratih dalam analisis intertekstualitas menggunakan paradigma Michael Riffaterre.
Riffaterre mengemukakan paradigma pembacaan sajak yang melibatkan dua tahap pembacaan (Riffaterre, 1978: 4-6). Tahap pertama pembacaan sajak adalah tahap heuristic reading. Heuristic reading adalah tahap pembacaan yang menekankan kebutuhan seorang pembaca akan kompetensi linguistik, sebab sajak tidak mengikuti tata bahasa baku, dan kompetensi kesusastraan (tidak dalam khazanah buku-buku sastra saja, pen.), sebab sajak melibatkan teks-teks lain, semesta tanda, sehingga akan dapat dimunculkannya model hypogramamatis. Sedangkan tahap kedua pembacaan adalah tahap hermeneutic reading atau dia juga memakai istilah retroactive reading. Pada tahapan ini seorang pembaca merangkai semesta tanda di dalam satu konteks keutuhan sajak. Tanda yang tidak relevan bakal untuk sementara tidak dipakai karena pada proses baca ulang kesekian kalinya bisa jadi referen yang dikesampingkan bakal dipakai dalam mewujudkan signifikansi sajak. Dan Riffaterre-lah yang menggunakan istilah hypogram, sistem tanda-tanda yang ada pada teks-teks sebelumnya, untuk mengaitkan produksi tanda yang terjadi pada sebuah sajak (Riffaterre, 1978: 23) sebagaimana dioperasionalisasikan oleh Teeuw dan Ratih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar