Rabu, 28 Desember 2011

Sintaksis

Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.

STRUKTUR SINTAKSIS

Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K) yang berkenaan dengan fungsi sintaksis. Nomina, verba, ajektifa, dan numeralia berkenaan dengan kategori sintaksis. Sedangkan pelaku, penderita, dan penerima berkenaan dengan peran sintaksis.

Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi; bisa juga ditambah dengan konektor yang biasanya disebut konjungsi. Peran ketiga alat sintaksis itu tidak sama antara bahasa yang satu dengan yang lain.

KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS

Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.

Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya dua macam kata yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal mempunyai makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Yang termasuk kata penuh adalah kata-kata kategori nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan numeralia. Misalnya mesjid memiliki makna ‘ tempat ibadah orang Islam ’. Sedangkan kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam peraturan dia tidak dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata tugas adalah kata-kata kategori preposisi dan konjungsi. Misalnya dan tidak mempunyai makna leksikal, tetapi mempunyai tugas sintaksis untuk menggabungkan menambah dua buah konstituen.

Kata-kata yang termasuk kata penuh mempunyai kebebasan yang mutlak, atau hampir mutlak sehingga dapat menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan kata tugas mempunyai kebebasan yang terbatas, selalu terikat dengan kata yang ada di belakangnya (untuk preposisi), atau yang berada di depannya (untuk posposisi), dan dengan kata-kata yang dirangkaikannya (untuk konjungsi).

FRASE

Pengertian Frase

Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau predikat - objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

Jenis Frase

Frase Eksosentrik

Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.

Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase eksosentris yang direktif atau disebut frase preposisional ( komponen pertamanya berupa preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina) dan non direktif (komponen pertamanya berupa artikulus, seperti si dan sang sedangkan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba).

Frase Endosentrik

Frase Endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Artinya, salah satu komponennya dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Frase ini disebut juga frase modifikatif karena komponen keduanya, yaitu komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna komponen inti atau hulunya itu. Selain itu disebut juga frase subordinatif karena salah satu komponennya, yaitu yang merupakan inti frase berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen bawahan.

Dilihat dari kategori intinya dibedakan adanya frase nominal (frase endosentrik yang intinya berupa nomina atau pronomina maka frase ini dapat menggantikan kedudukan kata nominal sebagai pengisi salah satu fungsi sintaksis), frase verbal (frase endosentrik yang intinya berupa kata verba, maka dapat menggantikan kedudukan kata verbal dalam sintaksis), frase ajektifa (frase edosentrik yang intinya berupa kata ajektiv), frase numeralia (frase endosentrik yang intinya berupa kata numeral).

Frase Koordinatif

Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif. Frase koordinatif tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit disebut frase parataksis.

Frase Apositif

Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya, oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.

Perluasan Frase

Salah satu ciri frase adalah dapat diperluas. Artinya, frase dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan.

Dalam bahasa Indonesia perluasan frase tampak sangat produktif. Antara lain karena pertama, untuk menyatakan konsep-konsep khusus, atau sangat khusus, atau sangat khusus sekali, biasanya diterangkan secara leksikal. Faktor kedua, bahwa pengungkapan konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar, dan pembatas tidak dinyatakan dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi, melainkan dinyatakan dengan unsur leksikal. Dan faktor lainnya adalah keperluan untuk memberi deskripsi secara terperinci dalam suatu konsep, terutama untuk konsep nomina.

KLAUSA

Pengertian Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.

Klausa berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal karena di dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Frase dan kata juga mempunyai potensi untuk menjadi kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final; tetapi hanya sebagai kalimat minor, bukan kalimat mayor; sedangkan klausa berpotensi menjadi kalimat mayor.

Jenis Klausa

Berdasarkan strukturnya klausa dibedakan klausa bebas ( klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat; dan mempunyai potensi menjadi kalimat mayor) dan klausa terikat (klausa yang unsurnya tidak lengkap, mungkin hanya subjek saja, objek saja, atau keterangan saja). Klausa terikat diawali dengan konjungsi subordinatif dikenal dengan klausa subordinatif atau klausa bawahan, sedangkan klausa lain yang hadir dalam kalimat majemuk disebut klausa atasan atau klausa utama.

Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat di bedakan: klausa verbal (klausa yang predikatnya berkategori verba). Sesuai dengan adanya tipe verba, dikenal adanya (1) klausa transitif (klausa yang predikatnya berupa verba transitif); (2) klausa intransitif (klausa yang predikatnya berupa verba intransitif); (3) klausa refleksif (klausa yang predikatnya berupa verba refleksif); (4) klausa resiprokal (klausa yang predikatnya berupa verba resiprokal. Klausa nominal (klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal). Klausa ajektifal (klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase). Klausa adverbial (klausa yang predikatnya berupa frase yang berkategori preposisi). Klausa numeral (klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia).

Perlu dicatat juga istilah klausa berpusat dan klausa tak berpusat. Klausa berpusat adalah klausa yang subjeknya terikat di dalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.

KALIMAT

Pengertian Kalimat

Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat didefinisikan sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap ”. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.

Sehingga disimpulkan, bahwa yang penting atau yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sedangkan konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda tanya; dan intonasi seru, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda seru.

Jenis Kalimat

Kalimat Inti dan Kalimat Non-Inti

Kalimat inti, biasa juga disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmatif. Misalnya:

FN + FV + FN + FN : Nenek membacakan kakek komik

Ket : FN=Frase Nominal (diisi sebuah kata nominal); FV=Frase Verbal; FA=Frase Ajektifa; FNum=Frase Numeral; FP=Frase Preposisi.

Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai proses transformasi:

KALIMAT INTI + PROSES TRANSFORMASI = KALIMAT NONINTI

Ket : Proses Transformasi antara lain transformasi pemasifan, transformasi pengingkaran, transformasi penanyaan, transformasi pemerintahan, transformasi pengonversian, transformasi pelepasan, transformasi penambahan.

Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk

Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu klausa. Sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdapat lebih dari satu klausa.

Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa dalam kalimat, dibedakan: (1) kalimat majemuk koordinatif/ kalimat majemuk setara yaitu kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang sama, yang setara, atau yang sederajat. Secara eksplisit dihubungkan dengan konjungsi koordinatif dan biasanya unsur yang sama disenyawakan atau dirapatkan sehingga disebut kalimat majemuk rapatan. (2) Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang hubungan antara klausa-klausanya tidak setara atau sederajat. Klausa yang satu merupakan klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Kedua klausa itu dihubungkan dengan konjungsi subordinatif. Proses terbentuknya kalimat ini dapat dilihat dari dua sudut bertentangan. Pertama, dipandang sebagai hasil proses menggabungkan dua buah klausa atau lebih, dimana klausa yang satu dianggap sebagai klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Pandangan kedua, konstruksi kalimat subordinatif dianggap sebagai hasil proses perluasan terhadap salah satu unsur klausanya. (3) Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat majemuk yang terdiri dari tiga klausa atau lebih, dimana ada yang dihubungkan secara koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi, kalimat ini merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan subordinatif sehingga disebut juga kalimat majemuk campuran.

Kalimat Mayor dan Kalimat Minor

Kalimat mayor mempunyai klausa lengkap, sekurang-kurangnya ada unsur subjek dan predikat. Sedangkan kalimat minor klausanya tidak lengkap, entah hanya terdiri subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja; konteksnya bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau juga topik pembicaraan.

Kalimat Verbal dan Kalimat non-Verbal

Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.

Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal, biasanya dibedakan: (1) kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah objek kalau verba tersebut bersifat monotrasitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau verba tersebut bersifat bitransitif. (2) kalimat intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak memiliki objek. (3) kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Verba aktif biasanya ditandai dengan prefiks me- atau memper- biasanya dipertentangkan degan kalimat pasif yang ditandai dengan prefiks di- atau diper- . Ada juga istilah kalimat aktif anti pasif dan kalimat pasif anti aktif sehubungan dengan adanya sejumlah verba aktif yang tidak dapat dipasifkan dan verba pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif (4) kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis menyatakan tindakan atau gerakan. (5) kalimat statis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak menyatakan tindakan atau kegiatan. (6) kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan verba.

Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat

Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran yang lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks. Biasanya kalimat terikat menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti penanda rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis.

Dari pembicaraan mengenai kalimat terikat, dapat disimpulkan bahwa sebuah kalimat tidak harus mempunyai struktur fungsi secara lengkap. Kelengkapan sebuah kalimat serta pemahamannya sangat tergantung pada konteks dan situasinya.

Intonasi Kalimat

Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa, sebab bisa dikatakan: kalimat minus intonasi sama dengan klausa; atau kalau dibalik; klausa plus intonasi sama dengan kalimat. Jadi, kalau intonasi dari sebuah kalimat ditanggalkan maka sisanya yang tinggal adalah klausa.

Intonasi dapat diuraikan atas ciri-ciri yang berupa tekanan, tempo, dan nada. Tekanan adalah ciri-ciri suprasegmental yang menyertai bunyi ujaran. Tempo adalah waktu yang diperlukan untuk melafalkan suatu arus ujaran. Nada adalah suprasegmental yang diukur berdasarkan kenyaringan suatu segmen dalam suatu arus ujaran. Dalam bahasa Indonesia dikenal tiga macam nada, yang biasa dilambangkan dengan angka “1”, nada sedang dilambangkan dengan angka “2”, dan nada tinggi dilambangkan dengan angka “3”.

contoh: Bacรกlah buku itu !

2 – 32t / 2 11t #

Ket: n=naik; t=turun; tanda - di atas huruf=tekanan

Tekanan yang berbeda menyebabkan intonasinya juga berbeda; akibatnya keseluruhan kalimat itu pun akan berbeda.

Modus, Aspek, Kala, Modalitas, Fokus, dan Diatesis

Modus

Modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran si pembaca atau sikap si pembicara tentang apa yang diungkapkannya.

Ada beberapa macam modus, antara lain (1) modus indikatif atau modus deklaratif, yaitu modus yang menunjukkan sikap objektif atau netral; (2) modus optatif, yaitu modus yang menunjukkan harapan atau keinginan; (3) modus imperatif, yaitu modus yang menyatakan perintah, larangan, atau tengahan; (4) modus interogatif, yaitu modus yang menyatakan pertanyaan; (5) modus obligatif, yaitu modus yang menyatakan keharusan; (6) modus desideratif, yaitu modus yang menyatakan keinginan atau kemauan; dan (7) modus kondisional, yaitu modus yang menyatakan persyaratan.

Sesungguhnya yang menjadi pembeda antara kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, dan interjektif, adalah modus.

Aspek

Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara internal di dalam suatu situasi, keadaan, kejadian, atau proses. Dalam berbagai bahasa aspek merupakan kategori gramatikal karena dinyatakan secara morfemis. Dalam bahasa Indonesia aspek dinyatakan tidak secara morfemis melainkan dengan berbagai cara dan alat leksikal. Dalam bahasa Indonesia aspek juga ada yang sudah dinyatakan secara inhern oleh tipe verbanya.

Berbagai macam aspek dari berbagai bahasa, antara lain: (1) aspek kontinuatif, yaitu yang menyatakan perbuatan terus berlangsung; (2) aspek inseptif, yaitu yang menyatakan peristiwa atau kejadian yang baru mulai; (3) aspek progresif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sedang berlangsung; (4) aspek repetitif, yaitu yang menyatakan perbuatan itu terjadi berulang-ulang; (5) aspek perefektif, yaitu yang menyatakan perbuatan sudah selesai; (6) aspek imperfektif, yaitu yang menyatakan perbuatan berlangsung sebentar; dan (8) aspek sesatif, yaitu yang menyatakan perbuatan berakhir.

Kala

Kala atau tenses adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya perbuatan, kejadian, tindakan, atau pengalaman yang disebutkan di dalam predikat. Kala ini lazimnya menyatakan waktu sekarang, sudah lampau, dan akan datang. Beberapa bahasa menandai kala itu secara morfemis; artinya, pertanyaan kala itu ditandai dengan bentuk kata tertentu pada verbanya.

Bahasa Indonesia tidak menandai kala secara morfemis, melainkan secara leksikal.

Dalam bahasa Indonesia banyak orang yang mengelirukan konsep kala dengan konsep keterangan waktu sebagai fungsi sintaksis; sehingga mereka mengatakan kala sudah, sedang, dan akan adalah keterangan waktu. Padahal keterangan waktu, dan keterangan lainnya, sebagai fungsi sintaksis memberi keterangan terhadap keseluruhan kalimat. Posisinya pun dapat dipindahkan ke awal kalimat atau ke tempat lain; sedangkan kala terikat pada verbanya atau predikatnya. Penyebab kekeliruan itu barangkali karena kata-kata seperti sudah, sedang, dan akan itu “sejenis” dengan kata-kata kemarin, tadi, dan besok yang menyatakan waktu; dan kata yang terakhir ini memang dapat mengisi fungsi keterangan. Mungkin juga karena dalam tata bahasa tradisional, istilah keterangan digunakan untuk dua macam konsep, yaitu konsep fungsi sintaksis, dan konsep kategori sintaksis.

Modalitas

Modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, yaitu mengenai perbuatan, keadaan, dan peristiwa; atau juga sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa pernyataan kemungkinan, keinginan, atau juga keizinan. Dalam bahasa Indonesia dan sejumlah bahasa lain, modalitas dinyatakan secara leksikal.

Dalam kepustakaan linguistik dikenal adanya beberapa jenis modalitas; antara lain (1) modalitas intensional, yaitu modalitas yang menyatakan keinginan, harapan, permintaan, atau juga ajakan; (2) modalitas epistemik, yaitu modalitas yang menyatakan kemungkinan, kepastian, dan keharusan; (3) modalitas deontik, yaitu modalitas yang menyatakan keizinan atau keperkeaan; dan (4) modalitas diamik, yaitu modalitas yang menyatakan kemampuan.

Fokus

Fokus adalah unsur yang menonjolkan bagian kalimat sehingga perhatian pendengar atau pembaca tertuju pada bagian itu. Ada bahasa yang mengungkapkan fokus ini secara morfemis, dengan menggunakan afiks tertentu; tetapi ada pula yang menggunakan cara lain.

Dalam bahasa Indonesia fokus kalimat dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: Pertama, dengan memberi tekanan pada bagian kalimat yang difokuskan. Kedua, dengan mengedepankan bagian kalimat yang difokuskan. Ketiga, dengan cara memakai partikel pun, yang, tentang, dan adalah pada bagian kalimat yang difokuskan. Keempat, dengan mengontraskan dua bagian kalimat. Kelima, dengan menggunakan konstruksi posesif anaforis beranteseden.

Diatesis

Diatesis adalah gambaran hubungan antara pelaku atau peserta dalam kalimat dengan perbuatan yang dikemukakan dalam kalimat itu.

Ada beberapa macam diatesis, antara lain, (1) diatesis aktif, yakni jika subjek yang berbuat atau melakukan suatu perbuatan; (2) diatesis pasif, jika subjek berbuat atau melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri; (3) diatesis refleksi, yakni jika subjek berbuat atau melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri; (4) diatesis resiprokal, yakni jika subjek yang terdiri dari dua pihak berbuat tindakan berbalasan; dan (5) diatesis kausatif, yakni jika subjek menjadi penyebab atas terjadinya sesuatu.

WACANA

Pengertian wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.

Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.

Alat Wacana

Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis sehingga bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan menggunakan kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain.

Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat dengan bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama, menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua, menggunakan hubungan generik - spesifik; atau sebaliknya spesifik - generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat, menggunakan hubungan sebab - akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima, menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.

Jenis Wacana

Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana lisan dan wacana tulis.

Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi.

Subsatuan Wacana

Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau sub-subsatuan wacana yang disebut bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf. Namun, dalam wacana –wacana singkat sub-subsatuan wacana tidak ada.

CATATAN MENGENAI HIERARKI SATUAN

Urutan hierarki satuan-satuan linguistik bahwa satuan yang satu tingkat lebih kecil akan membentuk satuan yang lebih besar yaitu : wacana, kalimat, klausa, frase, kata, morfem, fonem. Urutan hierarki tersebut adalah urutan normal teoritis. Dalam praktek berbahasa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan urutan. Kalau dalam urutan normal kenaikan tingkat atau penurunan tingkat terjadi pada jenjang berikutnya yang satu tingkat ke atas atau satu tingkat ke bawah, maka dalam pelompatan tingkat terjadi peristiwa, sebuah satuan menjadi konstituen dalam jenjang, sekurang-kurangnya, dua tingkat di atasnya. Kasus pelapisan tingkat terjadi kalau sebuah konstituen menjadi unsur konstituen pada konstruksi yang tingkatannya sama. Dan kasus penurunan tingkat terjadi apabila sebuah konstituen menjadi unsur konstituen lain yang tingkatannya lebih rendah sari tingkatan konstituen asalnya.

Sintaksis

BAB I

SINTAKSIS

Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana. Untuk menjelaskan uraian itu, diambil contoh kalimat: Seorang pelajar sedang belajar di perpustakaan.

Kalimat di atas terdiri dari satu klausa yang terdiri dari S, ialah seorang pelajar, P, ialah sedang belajar, dan KET, ialah di perpustakaan. Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur itu dalam suatu satuan baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi. Misalnya pada kalimat{1}di atas terdapat frase sedang belajar,yang terdiri dari dua unsur, ialah kata sedang dan kata belajar. Berdarsarkan hubungan maknawi antar unsur-unsurnya, frase seorang pelajar yang menduduki fungsi S menyatakan makna pelaku, frase sedang belajar yang menduduki fungsi P menyatakan makna perbuatan dan frase di perpustakaan yang menduduki fungsi KET menyatakan makna tempat. Jadi klausa di atas terdiri dari unsur-unsur maknawi pelaku diikuti perbuatan diikuti tempat.

BAB II

KALIMAT

PENENTUAN KALIMAT

Bahasa terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan lapisan arti yang dinyatakan oleh bentuk bahasa terdiri dari satuan-satuan yang dapat dibedakan menjadi satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik.Satuan fonologik meliputi fonem dan suku. Sedangkan fonologik meliputi fonem dan suku, sedangkan satuan gramatika meliputi wacana, kalimat, klausa, frase, kata, dan morfem. Contoh kalimat dari satu kata misalnya: kemarin, kalimat yang terdiri dari dua kata, misalnya itu toko yang terdiri dari tiga kata, misalnya ia sedang belajar.

KALIMAT BERKLAUSA DAN KALIMAT TAK BERKLAUSA

Kalimat yang berklausa adalah kalimat yang terdiri dari satuan yang berupa klausa. Klausa terdiri atas subjek dan predikat. Klausa dapat pula disertai adanya objek, keterangan dan pelengkap.

Contoh:

Lembaga itu menerbitkan majalah sastra. ( 1 klausa )

Perasaan itu muncul sesaatsetelah kamu pergi. ( 2 klausa )

Kalimat tak berklausa adalah kalimat yang tidak terdiri dari klausa.

Contoh:

Selamat pagi !

Pergi !

Judul suatu karangan juga merupakan sebuah kalimat karena selalu diakhiri dengan jeda panjang yang disertai nada akhir naik atau turun atau yang disebut intonasi.

Contoh: Seratus Tokoh Islam Akan Menerima Penjelasan. ( berwujud kalimat)

Akan tetapi, jika tidak terdiri dari klausa, kalimat judul itu termasuk golongan kalimat tak berklausa.

Contoh : Seorang Pertapa dari Gunung Wilis ( berwujud satuan frase )

Kalimat Berita, Kalimat Tanya dan Kalimat Suruh

Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat digolongkan menjadi:

1. Kalimat Berita

Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehiunggan tanggapan yang berupa perhatian seperti tercermin pada pandangan mata yang menunjukkan adanya perhatian yang berupa anggukan atau ucapan ya.

Kalimat berita mempunyaipola intonasi berita.dalam kalimat berita tidak terdapat kata-kata tanya, kata ajakan serta kata larangan.

2. Kalimat Tanya

kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat ini memiliki pola intonasi yang berbeda dari kalimat berita. Pola intonasi kalimat berita bertnada akhir turun, sedanhkan pola intinasi kalimat tanya bernada akhir naik. Di samping itu, nada sukuj aterakahir yang lebih tinggi sedikit dibandungkan dengan nada suku terakhir pola intonasi kalimat berita.

  1. Apa

Kata tanya apa digunakan untuk menanyakan benda, tumbuhan, hewan dan identitas.

Contoh : – Petani itu membawa apa?

- Kamu membaca buku apa?

b. Siapa

Kata tanya siapa digunakan untuk meenanyakan Tuhan, Malaikat dan manusia.

Contoh: – Anda mencari siapa?

- Ini sepeda siapa?

c. Mengapa

Kata tanya mengapa digunakan untuk menanyakan perbuatan dan sebab.

Contoh: – Anak itu sedang mengapa?

- Mengapa anak itu menangis?

d. Kenapa

kata tanya kenapa digunakan untuk menanyakan sebab.

Contoh: Kenapa anak itu menangis?

e. Bagaimana

Kata tanya bagaimana menanyakan keadaan dan cara.

Contoh: – Bagaimana nasibnya sekarang?

- Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi?

f. Mana

Kata tanya mana menanyakan tempat, sesuatu dari suatu kumpulan dan sesuatu yang dijanjikan sebelumnya.

Contoh: – Kamu orang mana?

SEMANTIK

SEKILAS SEMANTIK BAHASA INDONESIA

  1. Jenis Makna

    Jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif. Berdasarkan ketepatan maknanya dapat dibedakan adanya makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Selain pembagian tersebut, jenis makna dapat pula digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu (a) makna leksikal dan (b) makna kontekstual.

  2. Makna Leksikal

    Makna leksikal (leksical me3aning, sematic meaning, external meaning) adalah makna kata yang berdiri sendiri baik dalam bentuk dasar maupun dalambentuk kompleks (turunan) dan makna yang ada tetap seperti apa yang dapat kita lihat dalam kamus. Makna leksikal dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu (a) makna konseptual yang meliputi makna konotatif, makna afektif, makna stilistik, makna kolokatif dan makna idiomatik.

  3. Makna Konseptual

    Makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan konsepnya makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas asosiasi atau hubungan apa pun.

    Makna konseptual disebut juga makna denotatif, makna referensial, makna kognitif, atau makna deskriptif. Makna konseptual dianggap sebagai faktor utama dalam setiap komunikasi.

  4. Makna Generik

    Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus atau sempit.

    Misalnya, sekolah dalam kalimat “Sekolah kami menang.” Bukan saja mencakup gedungnya, melainkan guru-guru, siswa-siswa dan pegawai tata usaha sekolah bersangkutan.

  5. Makna Spesifik

    Makna spesifik adalah makna konseptual, khas, dan sempit.

    Misalnya jika berkata “ahli bahasa”, maka yang dimaksud bukan semua ahli, melainkan seseorang yang mengahlikan dirinya dalam bidang bahasa.

  6. Makna Asosiatif

    Makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian kata yang tidak sebenarnya. Makna asosiatif adalah makna yang dimilki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya kata bunglon berasosiasi dengan makna orang yang tidak berpendirian tetap.

  7. Makna Konotatif

    Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap kata yang diucapkan atau didengar. Makna konotatif adalah makna yang digunakan untuk mengacu bentuk atau makna lain yang terdapat di luar makna leksikalnya.

  8. Makna Afektif

    Makna afektif merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa. Oleh karena itu, makna afektif berhubungan dengan gaya bahasa.

  9. Makna Stilistik

    Makna stilistik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistik lebih dirasakan di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat tempat tersendiri bagi kita karena kata yang digunakan mengandung makna stalistika. Makna stalistika lebih banyak ditampilkan melalui gaya bahasa.

  10. Makna Kolokatif

    Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama.

    Misalnya kata ikan, gurami, sayur, tomat tentunya kata-kata tersebut akan muncul di lingkungan dapur. Ada tiga keterbatasan kata jika dihubungkan dengan makna kolokatif, yaitu (a) makna dibatasi oleh unsur yang membentuk kata atau hubungan kata, (b) makna dibatasi oleh tingkat kecocokan kata, (c) makna dibatasi oleh kecepatan.

  11. Makna Idiomatik

    Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur pembentuknya. Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom yaitu (a) idiom penuh dan (b) idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalamnya masih terdapat unsur yang masih memiliki makna leksikal.

  12. Makna Kontekstual

    Makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dengan situasi. Makna kontekstual disebut juga makna struktural karena proses dan satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.

  13. Makna Gramatikal

    Makna grmatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya sebuah kata dalam suatu kalimat. Makna gramatikal dapat pula timbul sebagai akibat dari proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi.

  14. Makna Tematikal

    Makna tematikal adalah makna yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, baik melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan.

  15. Realasi makna adalah hubungan antara makna yang satu dengan makna kata yang lain.
  16. Pada dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu (1) prinsip kontiguitas, (2) prinsip kolementasi, (3) prinsip overlaping, dan (4) inklusi. Jelaskan!
    1. Prinsip kontiguitas yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut sinonimi.
    2. Prinsip komplementasi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut antonimi.
    3. Prinsip overlaping yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung makna berbeda. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut homonimi dan polisemi.
    4. Prinsip inklusi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup beberapa makna kata lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut hiponimi.
  17. Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sinonimi yaitu suatu istilah yang mengandung pengertian telaah, keadaan, nama lain.

    Contoh: pintar, pandai, cerdik, cerdas, cakap, mati, meninggal, berpulang, mangkat wafat

  18. Sinonimi tidak mutlak memiliki arti yang sama tetapi mendekati sama atau mirip.
  19. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya sinonimi adalah penyerapan kata-kata asing, penyerapan kata-kata daerah, makna emotif dan evaluatif.
  20. Kata bersinonimi tidak dapat dipertukarkan tempatnya karena dipengaruhi oleh (1) faktor waktu, (2) faktor tempat atau daerah, (3) faktor sosial, (4) faktor kegiatan dan (5) faktor nuansa makna.
  21. Homonimi adalah kata-kata yang sama bunyi dan bentuknya tetapi mengandung makna dan pengertian yang berbeda.
  22. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya homonimi adalah (1) kata-kata yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan, (2) kata-kata yang berhomonimi itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis.
  23. Homonimi yang homograf dan homofon adalah sama bunyi sama bentuknya.

    Contoh: bisa ® sanggup, dapat

    bisa ® racun ular

    jagal ® pedagang kecil

    jagal ® orang yang bertugas menyembelih binatang

    padan ® banding

    padan ® batas

    padan ® janji

    padan ® curang

    padan ® layar

  24. Homonimi yang tidak homograf tetapi homofon adalah bentuknya tidak sama tetapi bunyinya sama.

    Contoh: bang ® bentuk singkatan dari abang

    bank ® lembaga yang mengurus uang

    sangsi ® ragu

    sanksi ® akibat

    syarat ® janji

    sarat ® penuh dan berat

  25. Homonimi yang homograf tidak homofon sama bentuk tetapi tidak bunyinya.

    Contoh: teras ® hati kayu atau bagian dalam kayu

    teras ® pegawai utama

    teras ® bidang tanah datar yang miring atau lebih tinggi dari yang lain

  26. Antonimi adalah nama lain untuk benda lain pula atau kebalikannya.
  27. Oposisi kembar yaitu perlawanan kata yang merupakan pasangan atau kembaran yang mencakup dua anggota.

    Contoh: laki-laki >< perempuan

    kaya >< miskin

    ayah >< ibu

  28. Oposisi gradual yaitu penyimpangan dari oposisi kembar antara dua istilah yang berlawanan masih terdapat sejumlah tingkatan antara.

    Contoh: kaya dan miskin, besar dan kecil

    Pada kata tersebut terdapat tingkatan (gradual) sangat kaya – cukup kaya – kaya – miskin – cukup miskin – sangat miskin, sangat besar – lebih besar – besar – kecil – lebih kecil – sangat kecil.

  29. Oposisi majemuk yaitu oposisi yang mencakup suatu perangkat yang terdiri dari dua kata. Satu kata berlawanan dengan dua kata atau lebih.

    Contoh:

    duduk

Berdiri >< berbaring ><

berjongkok

tiarap

  1. Oposisi relasional yaitu oposisi antara dua kata yang mengandung relasi kebalikan, relasi pertentangan yang bersifat saling melengkapi.

    Contoh: menjual beroposisi membeli

    suami beroposisi istri

    utara beroposisi selatan

  2. Oposisi hirarkis, oposisi ini terjadi karena setiap istilah menduduki derajat yang berlainan. Oposisi ini pada hakikatnya sama dengan oposisi majemuk. Kata-kata yang beroposisi hirarkis adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), satuan hitungan, nama jenjang kepangkatan dan sebagainya.

    Contoh: meter beroposisi dengan kilometer

    kuintal beroposisi dengan ton

  3. Oposisi inversi, oposisi ini terdapat pada pasangan kata seperti beberapa – semua, mungkin – wajib. Pengujian utama dalam menetapkan oposisi ini adalah apakah kata itu mengikuti kaidah sinonimi yang mencakup (a) penggantian suatu istilah dengan yang lain dan (b) mengubah posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan istilah berlawanan.

    Contoh: beberapa negara tidak mempunyai pantai = tidak semua negara mempunyai pantai

  4. Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti.
  5. Kata berhomonimi adalah kata-kata yang sama bunyi dan bentuknya.

    Contoh: bisa ® dapat

    bisa ® racun

    Sedangkan polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna berbeda-beda tetapi masih dalam satu arti.

    Contoh: kepala 1. bagian tubuh dari leher ke atas

    2. bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan yang merupakan hal yang penting

    3. pemimpin atau ketua

  6. Dua cara untuk menentukan bahwa suatu kata tergolong polisemi atau homonimi, pertama melihat etimologi atau pertalian historisnya. Kata buku misalnya, adalah homonimi yakni (1) buku yang merupakan kata asli bahasa Indonesia yang berarti ‘tulang sendi’ dan (2) buku yang berasal dari bahasa Belanda yang berarti ‘kitab, pustaka’.

Kedua, dengan mengetahui prinsip perluasan makna dari suatu makna dasar.

  1. Hiponimi ialah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain.
  2. Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Kelas atas mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil, sedangkan kelas bawah merupakan komponen yang mencakup dalam kelas atas. Contoh: Januari, Februari, Maret, April hiponimi dari kata bulan. Kelas atas disebut hipernim, contohnya, ikan hipernimnya tongkol, gabus, lele, teri.

Contoh latihan dan jawaban.

1. Carilah sinonim kata-kata berikut ini!

a. kamu = engkau

b. ayah = bapak

c. anak = momongan

d. ibu = mama, emak

e. rajin = giat

f. susah = sulit, berat

g. pandai = pintar

h. sehat = waras

i. luas = lebar

j. jujur = tulus, ikhlas

k. mati = meninggal

l. baik = bagus

m. mendidiki = mengajar

n. senang = suka

o. aku = saya

p. selidik = amati

2. Carilah dalam kamus kata-kata homonimi berikut ini!

a. angguk – gerakan kepala menunduk, angguk – tali pada perahu

b. anggka – tanda lambang bilangan, angka – mengangap

c. antar – hubungan yang satu dengan yang lain, antar – memindahkan sesuatu ke tempat lain

d. bujuk – usaha untuk meyakinkan seseorang dengan kata-kata, bujuk – ikan gabus

e. bunga – bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, bunga – imbalan jasa

f. ekstrak – pati atau sari, ekstrak – salinan atau petikan

g. email – massa berupa kaca tidak bening, email – bahan padat berwarna putih

h. ceraka – pengukup pakaian, ceraka – tumbuhan yang akarnya dapat dipakai sebagai obat

i. genting – gawat atau tegang, genting tutup atas rumah

j. ibarat – umpama atau perbandingan, ibarat – isi

k. jurus – arah yang lurus, jurus – sikap

l. kabur – tidak dapat melihat sesuatu, kabur – berlari cepat-cepat

m. lengket – lekat, lengket – tumbuhan yang dapat dipakai untuk pupuk hijau

n. pelonco – gundul, pelonco – semangka muda

o. penting – utama atau sangat berharga, penting – tiruan bunyi

p. alam – segala yang ada di langit dan di bumi, alam – merasai

3. Carilah antonim-antonim kata-kata di bawah ini!

a. besar >< kecil

b. kaya >< miskin

c. tinggi >< rendah

d. teman >< lawan

e. banyak >< sedikit

f. tua >< muda

g. guru >< murid

h. bersih >< kotor

i. suami >< istri

j. panjang >< pendek

k. pandai >< bodoh

l. cantik >< jelek

m. kasar >< halus

n. jauh >< dekat

o. mahal >< murah

p. baik >< buruk

4. Carilah hiponim kata-kata berikut ini!

a. jurusan, fakultas hiponim terhadap perguruan tinggi

b. vokal, konsonan, diptong hiponim terhadap fonetik

c. puisi, prosa, drama hiponim terhadap sastra

d. meja, kursi, lemari hiponim mebel

e. merpati, kaka tua, gagak hiponim terhadap burung

5. Carilah dalam kamus makna kata polisemi di bawah ini!

a. menguraikan (1) menjadi terurai, (2) menceraikan atau melepaskan, (3) memaparkan

b. undang-undang (1) ketentuan-ketentuan (2) hukum (3) aturan-aturan yang dibuat orang atau badan yang berkuasa.

c. tubuh (1) badan, (2) bagian yang terpenting

d. sekularitas (1) kehidupan duniawi, (2) kedudukan seorang pejabat duniawi

e. praktik (1) pelaksanaan secara nyata (2) pelaksanaan pekerjaan (3) perbuatan melakukan teori

f. upah (1) hasil sebagai akibat, (2) imbalan

g. tenggelam (1) karam, (2) terbenam, (3) hilang, (4) lupa

h. subjek (1) pelaku, (2) mata pelajaran, (3) orang, tempat, benda yang diamati

i. gadis (1) perawan, (2) anak perempuan yang sudah akil balik

j. aparat (1) alat, perkakas, (2) perlengkapan militer, (3) badan pemerintaha

Morfologi

4.1. Morfem

Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebabmorfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis, dan tidak semua morfem mempunyai makna secara filosofis. Konsep morfem baru diperkenalkan oleh kaum strukturalis pada awal abad kedua puluh ini.

4.1.1. Identifikasi Morfem

Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem

Jadi, kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan ciri atau identitas sebuah morfem.

4.1.2. Morf dan Atomorf

Sudah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain. Bentuk-bentu krealisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan perkataan lain alomorf adalah perwu­judan konkret (di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua, atau juga enam buah Selain itu bisa iuga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya; sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

4.1.3. Klasifikasi Morfem

Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.

4.1.3.1. Morfem Bebas dan Morfem Terikat

Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncut dalam pertuturan. Misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus. Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat.

Berkenaan dengan morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Yaitu:

Pertama, bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat, karena bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial.

Kedua, sehubungan dengan istilah prakategorial di atas, menurut konsep Vefiaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan ”pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan ,sesudah mengalami proses morfologi.

Ketiga, bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.

Keempat, bentuk-bentuk yang tennasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari; pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis ; merupakan bentuk terikat.

Kelima, yang disebut klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya; apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk­-bentuk singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Umpamanya, klitika -lah dalam bahasa Indonesia.

Proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil. Sedangkan enlditika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang ditekati, seperti -lah, -nya, dan –ku.

4.1.3.2. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi

Pembedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut: apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Semua morfem dasar bebas yang dibicarakan pada 4.1.3.1 adalah termasuk morfem utuh, seperti {meja}, {kursi}, {kecil}, (taut), dan {pinsil}. Begitu juga dengan sebagian morfem terikat, seperti {ter-}, {ber-}, (henti}, dan {juang}. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu } dan satu morfem terbagi, yakni { ke-/-an } kata perbuatan terdiri dari satu morfem utuh, yaitu {buat} dan satu morfem terbagi, yaitu {per-/-an}.

Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indone­sia, ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pertama, semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, { ber-/-an } (per-/-an}, dan { pe-/-an } adalah termasuk morfem terbagi. hlamun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks, dan bermusuhan saling memusuhi; tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan dan berpakaian.

Kedua dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yakni afiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er} pada kata gerigi, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pa a kata gemetar.

4.1.3.3. Morfem Segmental dan Suprasegmental

Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan (ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.

Morfem segmental-suprasegmental sekaligus bersama-sama.

4.1.3.4. Morfem Beralomorf Zero

Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau not (lambangnya berupa ร†), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan bempa ”kekosongan”.

4.1.3.5. Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal

Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem­-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda}, {pergi}, {lari} dan {merah} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem-morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertuturan.

Sebaliknya, morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.

Dalam dikotomi morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indonesia timbul masalah. Morfem-morfem §eperti { juang } { henti } dan {gaul} yang oleh Verhaar disebut bentuk prakategoriai, mempunyai makna atau tidak ? Kalau dikatakan mempunyai makna jelas morfem-morfem tersebut tidak dapat berdiri sendiri sebagai bentuk yang otonom di dalam pertuturan. Kalau dikatakan tidak bermakna jelas morfem-morfem itu bukan afrks. Secara semantik, morfem­morfem itu mempunyai makna; tetapi secara gramatikal morfem­morfem tersebut tidak mempunyai kebebasan dan otonomi.

Ada satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu morfem-­morfem yang di datam gramatika berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi jetas bukan afiks dan jelas memiiiki makna. Namun, kebebasannya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebasan morfem afiks.

4.1.4. Mofem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (Stem), dan Akar (Root)

Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi, bentuk-bentuk seperti { juang } {kucing}, dan {sikat} adalah morfem dasar. Morfem dasar ini ada yang termasuk morfem terikat, seperti { juang }, { henti }, dan { abai }; tetapi ada juga yang termasuk morfem bebas, seperti {beli}, {lari}, dan {kucing}, sedangkan morfeol afiks, seperti {ber-}, {ter-}, dan {-kan} jelas semuanya termasuk morfem terikat.

Sebuah morfem dasar da at menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses atiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduptikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi.

Istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem.

Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses pembubuhan afiks inflektif.

Akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya, baik afiks infleksional maupun afiks derivasionalnya ditanggalkan.

Mengakhiri subbab ini perlu diketengahkan adanya tiga macam morfem dasar bahasa Indonesia dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada morfem dasar itu. Pertama, adalah morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang secara potensiai dapat langsung. menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran. Misalnya, morfem {meja}, {kursi}, {perai} dan (kuning}

Kedua, morfem dasar yang kebebasannya dipersoaikan. Yang termasuk ini adalah sejumlah morfem berakar verba, yang dalam kalikmat imperatif atau katimat sisipan, tidak perlu diberi imbuhan; dan dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat ditanggalkan.

Ketiga morfem dasar terikat, yakni morfem dasar yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya, morfem-morfem { juang }, {henti}, {gaul}, dan {abai }.

4.2. Kata

Secara panjang lebar pada subbab 5.1 di atas telah dibicarakan mengenai satuan gramatikal yang disebut morfem. Namun, istilah dan konsep morfem ini tidak dikenal oleh para tata bahasawan tradisional. Yang ada dalam tata bahasa tradisional sebagai satuan lingual yang selalu dibicarakan adalah satuan yang disebut kata. Apakah kata itu, bagaimana kaitannya dengan morfem, bagaimana klasifikasinya, serta bagaimana pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini.

4.2.1. Hakikat Kata

Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Pendekatan arti dan ortografi dari tata bahasa tradisionai ini banyak menimbulkan masalah. Kata-kata seperti sikat, kucing dan spidol memang bisa dipahami sebagai satu kata; tetapi bentuk-bentuk seperti matahari tiga puluh dan luar negeri apakah sebuah kata, ataukah dua buah kata, bisa diperdebatkan orang. Pendekatan ortografi untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin, bisa dengan mudah dipahami, meskipun masih timbul persoalan. Tetapi pendekatan ortografi ini agak sukar diterapkan untuk bahasa yang tidak menggunakan huruf Latin,

Para tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata sebagai satuan lingual; dan menggantinya dengan satuan yang disebut morfem.

Para linguis setelah Bloomfield juga tidak menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Tidak dibicarakannya hakikat kata secara khusus oleh kelompok Bloomfield dan pengikutnya adalah karena dalam analisis bahasa, mereka melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, morfem, dan kalimat. Berbeda dengn tata bahasa tradisional yang melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, kata, dan kalimat.

Batasan kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain.

Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.

4.2.2. Klasifikasi Kata

Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata; dalm peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarah lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Hal ini terjadi, karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing­-masing; dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.

Para tata bahasawan tradisional mengguaakan kriteria makna dan kriteria tungsi. Kriteria makna digunakan urltuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektifa; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lainnya. Verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain.

Para tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan ….. Jadi, kata-kata seperti buku, pinsil dan nenek adalah termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi tidak ….. Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas verba, karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak itu. Lalu, yang disebut ajektifa adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di betakang kata sangat, atau dapat mengisi konstruksi sangat ….. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal, dan cantik adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang kata sangat itu.

Ada juga kelompok linguis yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subjek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina; dan fungsi keterang oleh adverbia. Oleh kartena itu semua kata yang menduduki fungsi.

Klasifikasi atau penggolongan kata itu memang perlu. Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang dapat kita identifikasikan dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau mendistribusian kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri atau beriden­tifikasi yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu distribusi di dalam kalimat.

4.2.3. Pembentukan Kata

Untuk dapat digunakan di dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar, terutama dalam bahasa fleksi dan aglutunasi, harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal, baik melalui proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun proses komposisi.

Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat, yaitu pertama membentuk kata-kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif.

4.2.3.1. Inflektif

Alat yang digunakan untul penyesuaian bentuk itu biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga berupa modifikasi internal, yakn perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu.

Perubahan atau penyesuaian bentuk pada verba disebut konyugasi, dan perubahan atau penyesuaian pada nomina dan ajektif disebut deklinasi. Konyugasi pada verba biasanya berkenaan dengan kala (tense), aspek, modus, diatesis, persona, jumlah, dan jenis Sedangkan deklinasi biasanya berkenaan dengan jumlah, jenis, dai kasus.

Hanya bentuknya saja yang berbeda, yang disesuaikan dengan kategori gramatikalnya. Bentuk-bentuk tersebut dalam morfologi infleksional disebut para­digma infleksional.

Verhaar (1978), menyatakan bentuk-bentuk seperti membaca, dibaca, terbaca, kaubaca, dan bacalah adalah paradigma infleksional. Dengan kata lain, bentuk-bentuk tersebut merupakan kata yang sama, yang berarti juga mempunyai identitas jeksikal yang sam. Perbedaan bentuknya adalah berkenaan dengan modus kalimatnya.

4.2.3.2. Derivatif

Pembentukan kata secara infektif, tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Hat ini berbeda dengan pembentukan kata secara derivatif atau derivasional. Pembentukan kata secara derivatif membentuk kata baru, kata yang identitas teksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya.

4.3. Proses Morfemis

Di atas dalam pembicaraan tentang infleksi dan derivasi sudah dibicarakan sebagian kecil dari proses morfemis, atau proses morfologis, atau juga proses gramatikal, khususnya pemben­tukan kata dengan afiks. Namun, hal ihwal afiksnya itu sendiri belum dibicarakan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibicarakan proses-proses morfemis yang berkenaan dengan afiksasi, reduplikasi, konposisi, dan juga sedikit tentang konversi dan modifikasi intem. Kiranya perlu juga dibicarakan produktifitas proses-proses morfemis itu.

4.3.1. Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula bersifat derivatif. Namun, proses ini tidak berlaku untuk semua bahasa. Ada sejumlah bahasa yang tidak mengenal proses afiksasi ini.

Bentuk dasar atau dasar yang menjadi dasar dalam proses afiksasi dapat berupa akar, yakni bentuk terkecil yang tidak dapat disegmen­tasikan lagi, misalnya meja, beli, makan, dan sikat dalam bahasa Indonesia; atau go; write, sing, dan like dalam bahasa Inggris.

Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Sesuai dengan sifat kata yang dibentuknya, dibedakan adanya dua jenis afiks, yaitu afiks inflektif dan afiks derivatif. Yang dimaksud dengan afiks inflektif adalah afiks yang digunakan dalam pembentukan kata-kata inflektif atau paradigma infleksional.

Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di muka bentuk dasar, seperti me- pada kata menghibur, un- pada kata Inggris unhappy dan pan- pada kata Tagalog panulat ‘alat tulis’ Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia, misalnya infiks – el- pada kata telunjuk, dan -er- pada kata seruling, dalam bahasa Sunda -ar- pada kata barudak dan tarahu. Dalam bahasa Sunda infiks ini cukup produktif, tetapi dalam bahasa Indonesia tidak produktif.

Yang dimaksud dengan sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar. Umpamanya, dalam babasa Indonesia, sufiks -an pada kata bagian, dan sufiks -kan pada kata bagikan. Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang kedua berposisi pada akhir bentuk dasar.

Ada konfiks per-/-an seperti terdapat pada kata pertemuan, konfiks ke-/-an seperti pada kata keterangan, dan konfiks ber-/-an seperti terdapat pada kata berciuman.

Yang dimaksud dengan interfiks adalah sejenis infiks atau ele­men penyambung yang muncul dalam proses penggabungan dua buah unsur.

4.3.2. Reduplikasi

Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi denga perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik). Reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.

Bahasa Jawa dan bahas Sunda. Istilah-istilah itu adalah (a) dwilingga, yakni pengulangan morfem dasar, seperti meja-meja, aki-aki dan mlaku-mlaku ”berjalan-jalan”, (b) dwilingga salin suara, yakni pengulangan morfem dasa dengan perubahan vokal dan fonem lainnya, seperti bolak-balik, langak longok, dan mondar-mandir; (c) dwipurwa, yakni pengulangan silabel pertama, seperti lelaki, peparu, dan pepatah; (d) dwiwasana, yakn pengulangan pada akhir kata, seperti cengengesan ”selalu tertawa” yang terbentuk dari cenges ”tertawa”, dan (e) trilingga, yakni pengulangan morfem dasar sampai dua kali, seperti dag-dig-dug, cas-cis-cus, dan ngak-ngik-ngok.

Proses reduplikasi dapat bersifat paradigmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat derivasional. Reduplikasi yang paradigmatis tidak mengubah identitas leksikal, melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, meja-meja berarti ”banyak meja” dan kecil-kecil yang berarti ”banyak yang kecil”. Yang bersifat derivasional membentuk kata baru atau kata yang identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya. Dalam bahasa Indonesia bentuk laba-laba dari dasar laba dan pura-pura dari dasar pura.

Khusus mengenai reduplikasi dalam bahasa Indonesia ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan, yakni :

Pertama, bentuk dasar reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat berupa morfem dasar seperti meja yang menjadi meja-meja, bentuk berimbuhan seperti pembangunan yang menjadi pembangunan­-pembangunan, dan bisa juga berupa bentuk gabungan kata seperi surat kabar yang menjadi surat-surat kabar atau surat kabar-surat kabar.

Kedua, bentuk reduplikasi yang disertai afiks prosesnya mungkin: (1) proses reduplikasi dan proses afiksasi itu terjadi bersamaan seperti pada bentuk berton-ton dan bermeter-meter; (2) proses reduplikasi terjadi lebih dahulu, baru disusul oleh proses afiksasi, seperti pada berlari-lari dan mengingat-ingat (dasarnya lari-lari dan ingat-ingat); (3) proses afiksasi terjadi lebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh proses reduplikasi, seperti pada kesatuan-kesatuan dan memukul-­memukul (dasamya kesatuan dan memukul.

Ketiga, pada dasar yang berupa gabungan kata, proses reduplikasi mungkin harus berupa reduplikasi penuh, tetapi mungkin juga hanya berupa reduplikasi parsial. Misalnya, ayam itik -ayam itik dan sawah ladang-sawah ladang (dasamya ayam itik dan sawah la­dang) contoh yang reduplikasi penuh, dan surat-surat kabar serta rumah-rumah sakit (dasamya surat kabar dan rumah sakit) contoh untuk reduplikasi persial.

Keempat, banyak orang menyangka bahwa reduplikasi dalam bahasa Indonesia hanya bersifat paradigmatis dan hanya memberi makna jamak atau kevariasian. Namun, sebenamya reduplikasi dalam bahasa Indonesia juga bersifat derivasional. Oleh karena itu, munculnya bentuk-bentuk seperti mereka-mereka, kita-kita, kamu-kamu, dan dia-­dia tidak dapat dianggap menyalahi kaidah bahasa Indonesia.

Kelima, ada pakar yang menambahkan adanya reduplikasi semantis, yakni dua buah kata yang maknanya bersinonim membentuk satu kesatuan gramatikal. Misalnya, ilmu pengetahuan, hancur, luluh, dan alim ulama.

Keenam, dalam bahasa Indonesia ada bentuk-bentuk seperti kering kerontang, tua renta, dan segar bugar di satu pihak; pada pihak lain ada bentuk-bentuk seperti mondar-mandir, tunggang-langgang, dan komat-kamit, yang wujud bentulrnya perlu dipersoalkan. Kelompok pertama, yang salah satu komponennya berupa morfem bebas dan komponen yang lain berupa morfem unik, apakah merupakan bentuk reduplikasi berubah bunyi, ataukah berupa bentuk komposisi ? Kelompok kedua, yang kedua komponennya bempa morfem terikat, apakah merupakan bentuk reduplikasi atau bukan, sebab masing-masing komponennya tidak dapat ditentukan sebagai bentuk dasamya. Jadi, manakah yang diulang? Begitu juga dengan bentuk rama-rama, sema-­sema, ani-ani, dan tupai-tupai; serta bentuk-bentuk seperti pipi, kuku, sisi, dan titi, perlu dan bisa dipersoalkan apakah hasil proses reduplikasi ataukah bukan.

4.3.3. Komposisi

Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda, atau yang baru.

Dalam bahasa Indonesia proses komposisi ini sangat produktif. Hal ini dapat dipahami, karena dalam perkembangannya bahasa jndonesia banyak sekali memerlukan kosakata untuk menampung konsep-konsep yang belum ada kosakatanya atau istilahnya dalam bahasa Indonesia.

Produktifnya proses komposisi itu dalam bahasa Indonesia menimbulkan berbagai masalah dan berbagai pendapat karena komposisi itu memiliki jenis dan makna yang berbeda-beda. Masalah­-masalah itu antara lain masalah kata majemuk aneksl, dan frase.

Para ahli tata bahasa tradisional, seperti Sutan Takdir Alisjahbana (1953), yang berpendapat bahwa kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang tidak merupakan gabungan makna unsur-unsumya.

Kelompok linguis lain, yang berpijak pada tata bahasa struktural menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk, kalau di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat disisipkan apa-apa tanpa merusak kom­posisi itu. Bisa juga suatu komposisi disebut kata majemuk kalau unsur-­unsurnya tidak dapat dipertukarkan tempatnya.

Ada lagi kelompok lain yang membandingkan dengan kata majemuk dalam bahasa-bahasa Barat. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata majemuk dan bukan kata majemuk berbeda dalam hal adanya tekanan.

Linguis kelompok lain, ada juga yang menyatakan sebuah komposisi adalah kata majemuk kalau identitas leksikal komposisi itu sudah berubah dari identitas leksikal unsur-unsurnya.

Verhar (1978) menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk kalau hubungan kedua unsurnya tidak bersifat sintaksis.

Kridalaksana (1985) menyatakan kata majemuk haruslah tetap berstatus kata, kata majemukj harus dibedakan dari idiom sebab kata majemuk adalah konsep sintaksi,s edangkan idiom adalah konsep semantis.

4.3.4. Konversi, Modifikasi, Internal dan Suplesi

Konversi, sering juga disebut derivasi zero, transmutasi dan transposisi, adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lian tanpa perubahan unsur segmental.

Modifikasi internal (sering disebut juga penam bahan internal atau perubahan internal) adalah proses pembentukan kata dengan penambahan unsur-unsur (yang biasanya berupa vokal) ke dalam morfem yang berkerangka tetap.

4.3.5. Pemendekan

Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya Hasil proses pemendekan ini kita sebut kependekan Misalnya bentuk lab (utuhnya laboratorium), hlm (utuhnya halaman) l (utuhnya liter), hankam (utuhnya pertahanan dan keamanan), dan SD (utuhnya Sekolah Dasar).

Penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari bentuk yang dipendekkan itu Mi­salnya, lab, atau labo dari laboratorium dok dari bentuk utuh dokter, dan perpus dan bentuk utuh perpustakaan Yang dimaksud dengan smgkatan adalah hasil proses pemendekan

a. Pengekalan huruf awal dari sebuah leksem, atau huruf-huruf awal dari gabungan (eksem. Misalnya: I (liter), R (radius), H. (haji), kg (kilogram), km (kilometer), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan UI (Universitas Indonesia).

b. Pengekatan beberapa huruf dari sebuah leksem. Misalnya: hlm (halaman), dng (dengan), rhs (rahasia), dan bhs (bahasa).

c. Pengekalan hurut pertama dikombinasi dengan penggunaan angka untuk penggauti huruf yang sama. Misalnya: P3 (partai persatuan pembangunan), P4 (pedoman penghayatan pengamalan Pancasila), Lp2P {laporan pajak-pajak pribadi, dan P3AB (proyek percepatan pengadaan air bersih).

d. Pengekalan dua, tiga, atau empat huruf pertama dari sebuah leksem. Misalnya: As (asisten), Ny. (Nyonya), Okt (Oktober), Abd (Abdul), dan pum (pumawirawan).

e. Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir dari sebuah leksem. Misalnya: Ir (insinyur), Fa (Firma), Jo (juncto), dan Pa (perwira).

Akronim adalah hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud pemendekannya dapat berupa penge­kalan huruf huruf pertama berupa pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tak beraturan.

Pemendekan merupakan proses yang cukup produktif, dan terdapat hampir pada semua bahasa. Produktifnya proses pemendekan ini adalah karena keinginan untuk menghemat tempat (tulisan), tentu juga ucapan.

Dalam bahasa Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif adalah karena bahasa Indonesia seringkali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik atau sangat pelik.

Keproduktifan pemendekan ini dalam Bahasa Indonesia tampak juga dari adanya bentuk yang sudah merupakan hasil pemendekan dipendekkan lagi karena bentuk yang sudah merupakan kependekan itu diberi deskripsi lagi, sehingga menjadi bentuk yang cukup panjang, dan karena itu pedu dipendekkan lagi.

4.3.6. Produktivitas Proses Morfemis

Yang dimaksud dengan produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu terutama afiksasi, reduplikasi, dan komposisi digunakan berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas; artinya, ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan proses tersebut. Proses inflektif atau paradigmatis karena tidak membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasamya, trdak dapat dikatakan proses yang produktif. Proses inflektif bersifat tertutup.

Proses derivasi bersifat terbuka. Artinya penutur suatu bahasa dapat membuat kata kata baru dengan aroses tersebut. Proses derivasi adalah produktif, sedangkan proses infleksi tidak produktif.

Namun, perlu diketahui ke produktifan proses derivasi ini, dan penambahan alternan –alternan baru pada daftar derivasional, dibatasi oleh kaidah-kaidah yang sudah ada. Misalnya pembentukan kata baru dengan prefiks memper- terbatas pada dasar ajektival dan dasar nu­meral; dan tidak dapat ada dasar verbal

Selain itu perlu juga di perhatian, meskipun kaidah mengizinkan untuik terbentuknya suatu kata, namun dalam kenyataan berbahasa bentuk-bentuk tersebut tidak terdapat.

Tidak adanya sebuah bentuk yang seharusnya ada. Fenomena ini terjadi karena adanya bentuk lain yang menyebabkan tidak adanya betnuk yang dianggap seharusnya ada.

Dalam bahasa Indonesia yang ada tampaknya bukan kasus bloking, melainkan ”persaingan” antara kata derivatif dengan bentuk atau konstruksi frase yang menyatakan bentuk dasar dengan maknanya.

Bentuk-bentuk yang menurut kaidah gramatikal dimungkinkan keberadaannya, tetapi ternyata tidak pernah ada, seperti mencatikan dan memisau di atas disebut bentuk yang potensial yang pada suatu saat kelak mungkin dapat muncul Sedangkan bentuk-bentuk yang nyata ada, seperti bentuk menjelekkan dan bersepeda disebut bentuk-bentuk aktual.

4.4. Morfofonemik

Morfofonemik, disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi maupun komposisi.

Perubahan fonem dalam proses merfofonemik ini dapat ber­wujud: (1) pemunculan fonem (2) pelesapan fonem (3) peluluhan fonem, (4) perubahan fonem, dan (5) pergeseran fonem. Pemunculan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan prefiks me- dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca; di mana terlihat muncul konsonan sengau /m/ Juga dalam proses pengimbuhan sufiks -an dengan bentuk dasar hari yang menjadi /hariyan / di mana terlihat ­muncul konsonan /y/ yang semula tidak ada. Pelesapan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah di mana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang; juga dalam proses penggabungan kataanak dan partikel -nda di mana fonem /k/ pada kata anak menjadi hilang dan juga dalam pengimbuhan dengan prefiks ber- pada kata renang di mana fonem /r/ dan prefiks itu dihilangkan.

Proses peluluhan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan desenyawakan dengan bunyi nasal /ny/ dan prefiks tersebut.

Proses perubahan fonem dapat kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/.

Proses pergeseran fonem adalah pindahnya sebuah fonem dari silabel yang satu ke silabel yang lam biasanya ke silabel berikutnya dalam prose pengimbuhan sufiks /an/ pada kata jawab di mana-fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wab/ pindah kesilabel /ban/.

Seperti tampak dari namanya, yang merupakan gabungan dari dua bidang studi yaitu morfologi dan fonologi, atau morfoiogi dan fonemik, bidang kajian morfonologi atau morfofonemik ini, meskipun biasanya dibahas dalam tataran morfologi, tetapi sebenamya lebih banyak menyangkut masalah fonologi. Kajian ini tidak dibicarakan dalam tataran fonologi karena masalahnya baru muncul dalam kajian morfologi terutama dalam proses afiksasi reduplikasi dan komposisi. Masalah morfofonemik ini terdapat hampir pada semua bahasa yang mengenal proses-proses morfologis.