Kritik karya sastra dengan perspektif feminisme boleh dibilang relatif baru. Paling tidak, sampai saat ini belum banyak kritikus sastra dan mahasiswa sastra yang menggunakan perspektif feminisme dalam melakukan kritik terhadap karya sastra. Demikian antara lain pemikiran yang muncul dalam diskusi dan peluncuran buku Kritik Sastra Feminis karya Prof Dr Soenarjati Djajanegara yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Seni dan Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Depok, Senin (10/4)."Banyak yang bilang bahwa apa yang ada dalam karya sastra itu hanyalah khayalan belaka, padahal sebenarnya pemahaman tentang perempuan dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari karya sastranya. Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengarang laki-laki. "Padahal, belum tentu penulis perempuan akan menghasilkan karya sastra yang membela perempuan, begitu juga sebaliknya, tidak semua penulis laki-laki pasti tidak berpihak pada perempuan," katanya. Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama, kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra dengan melihat ideologinya.
Mereka ini umumnya akan menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik yang mencari ja-waban apakah penulis perempuan itu merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok feminis yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya, bahwa perempuan itu faktanya tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasil-kan uang. Masih menurut Maria, buku Soenarjati memberikan pegangan pada mahasiswa sastra atau orang-orang yang tertarik pada kritik sastra dalam melakukan kritik sastra dengan perspektif feminisme. "Meskipun sebenar-nya perlu dilengkapi dengan penjelasan apakah landasan dalam perspektif feminisme yang dimuat dalam buku itu bisa diterapkan di Indonesia atau tidak," katanya. Bagi Soenarjati, kritik sastra feminis itu tidak memisahkan sikap pengarangnya atau subs-tansi dari karya sastra. Menurutnya, baik substansi maupun pengarang merupakan satu kesatuan yang bisa dikritisi oleh para kritikus sastra feminis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar